Aku masih ingat pertama kali menyaksikan Tari Cakalele secara langsung. Itu bukan di buku pelajaran atau video YouTube, tapi benar-benar live, di sebuah festival budaya di Ambon. Dentuman tifa yang keras, teriakan lantang para penari, dan gerakan kaki yang menghentak bumi—semuanya bikin merinding. Rasanya seperti ditarik mundur ke zaman ketika prajurit-prajurit Maluku bersiap berperang mempertahankan tanah mereka.
Jujur aja, waktu itu aku belum tahu banyak soal Cultured Cakalele. Aku cuma pikir, “Ini kayak tarian perang ya?” Tapi ternyata, maknanya lebih dalam dari itu. Tari Cakalele adalah warisan budaya yang bukan cuma indah untuk ditonton, tapi juga penuh nilai sejarah, filosofi, dan semangat perlawanan.
Apa Itu Tari Cakalele? Cerita dari Tanah Maluku
.
Tari Cakalele berasal dari daerah Maluku Utara dan Maluku secara umum. Kata “Cakalele” sendiri konon berasal dari kata yang menggambarkan aksi atau gerakan untuk siap bertempur. Tari ini dulunya merupakan tarian perang, dibawakan oleh para pria sebelum atau sesudah bertempur, sebagai simbol keberanian, kekuatan, dan kesiapan mental.
Yang bikin khas? Para penarinya biasanya memakai pakaian adat yang super mencolok: baju merah mencolok, celana putih, kain pinggang, dan—ini yang paling ikonik—perisai dan parang. Beberapa juga membawa tombak kayu. Lalu ada penari perempuan juga, tapi mereka lebih sebagai pendamping, bukan yang utama Wikipedia.
Aku sempat ngobrol sama salah satu pelatih tari Cakalele waktu itu, dan beliau bilang, “Cakalele bukan sekadar tari, ini adalah kisah yang diceritakan lewat gerakan.” Dan itu bener banget. Gerakannya nggak asal-asalan, ada makna di setiap langkah.
Keunikan Tari Cakalele yang Bikin Merinding
Kalau kamu pernah lihat Tari Cakalele, kamu pasti ngerti kenapa tarian ini beda banget dari yang lain. Ini bukan tarian yang mengalun lembut kayak Tari Legong atau Tari Serimpi. Cakalele itu garang, keras, dan penuh semangat.
Salah satu keunikan utama Tari Cakalele adalah gaya gerakannya yang energik. Penarinya melompat-lompat, berteriak, menghentakkan kaki, kadang sampai terkesan seperti benar-benar lagi latihan perang.
Yang menarik lagi, ekspresi wajah penarinya tuh serius, galak, bahkan menyeramkan. Ini bukan soal akting, tapi emang bagian dari karakter tariannya. Mereka menampilkan wajah marah bukan karena beneran marah, tapi karena itu bagian dari pesan: “Aku siap melindungi tanahku.”
Ada juga gerakan memutar senjata, mengayunkan parang secara teatrikal, bahkan ada bagian ketika dua penari seperti akan saling serang, tapi itu semua sudah diatur dalam pola gerakan yang rapi dan penuh makna.
Dan jangan lupakan musik pengiringnya—tifa, gong, suling bambu, dan teriakan khas para penari yang membuat suasananya jadi makin hidup dan mistis. Bulu kudukku sempat berdiri beberapa kali, apalagi saat musiknya tiba-tiba melambat lalu mengencang lagi seperti mengiringi detak jantung.
Nilai Seni dan Filosofi dalam Tari Cakalele
Jangan salah. Meski kelihatan sangar, Tari Cakalele itu penuh nilai seni dan filosofis. Ini bukan sekadar tarian untuk memamerkan tenaga atau keberanian, tapi juga sarat simbol.
Pertama, soal keberanian. Tari ini menunjukkan bahwa masyarakat Maluku punya tradisi panjang dalam hal mempertahankan harga diri dan tanah air. Tarian ini seakan jadi “simbol hidup” dari semangat perlawanan, terutama saat masa penjajahan.
Kedua, soal kesatuan. Setiap gerakan dalam tari ini dilakukan secara kompak dan serentak. Ini bukan gerakan bebas, tapi hasil dari latihan yang terkoordinasi. Artinya, para penari nggak cuma kuat secara individu, tapi juga kuat sebagai kelompok—kayak pasukan tempur.
Ketiga, soal spiritualitas. Dulu, Cakalele juga sering digunakan dalam upacara adat atau penyambutan tamu penting. Tarian ini dipercaya bisa memanggil roh leluhur atau membawa berkah sebelum perang. Jadi, dalam satu tarian, ada semangat sejarah, keberanian, keindahan estetika, dan juga unsur spiritual.
Seni dalam Tari Cakalele adalah seni menyatukan tubuh, suara, musik, dan semangat jadi satu paket yang menggugah. Dan aku sendiri sebagai penonton (yang awalnya skeptis), lama-lama bisa ikut larut dalam energinya.
Tips Mempelajari Gerakan Tari Cakalele (Pengalaman Semi-Gagal)
Oke, ini bagian yang agak malu-maluin. Tapi ya, biar aku cerita jujur. Aku pernah nyoba ikut latihan Tari Cakalele waktu nginep di rumah seorang kenalan di Ternate. Awalnya cuma iseng, tapi berujung pegal-pegal tiga hari.
Ternyata, Tari Cakalele itu bukan buat yang lemah jantung atau gampang ngos-ngosan. Gerakannya cepat, intens, dan butuh koordinasi tingkat tinggi. Tapi dari situ aku belajar beberapa hal penting:
1. Fokus pada Kuda-Kuda Kaki
Jangan anggap enteng posisi kaki. Semua gerakan dasar Cakalele berpusat pada kestabilan dan kekuatan kaki. Kuda-kuda harus kuat, seimbang, dan siap meloncat kapan saja.
2. Ikuti Irama Musik Tradisional
Gerakan Tari Cakalele sangat bergantung pada musik pengiring. Kalau kamu nggak ngerti irama tifa dan gong, kamu akan kesulitan menyesuaikan gerak. Jadi, dengarkan dulu musiknya berkali-kali.
3. Latihan Ekspresi Wajah
Ini bagian yang paling aneh buatku. Harus marah tapi bukan marah beneran. Harus garang tapi tetap sadar diri. Latihan ekspresi ternyata penting banget buat membawakan aura perang dalam tarian.
4. Kenali Pola Gerak dan Formasi
Tari ini banyak gerakan berpola: maju-mundur, melingkar, menyilang. Salah langkah bisa bikin formasi berantakan. Latihan formasi bareng tim itu kuncinya.
Setelah pengalaman “setengah gagal” itu, aku jadi makin respect sama para penari tradisional. Mereka nggak cuma punya stamina luar biasa, tapi juga dedikasi dan kecintaan terhadap budaya yang tinggi.
Kenapa Tari Cakalele Harus Dilestarikan?
Ini yang sering bikin aku sedih. Banyak dari kita kenal breakdance, hip-hop, atau bahkan shuffle dance, tapi nggak tahu soal Tari Cakalele. Padahal ini warisan budaya yang udah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Pelestarian Tari Cakalele penting bukan hanya untuk menjaga kebudayaan lokal, tapi juga untuk mengajarkan kita soal sejarah perjuangan, identitas daerah, dan semangat persatuan. Ada beberapa alasan kenapa aku pribadi merasa Tari Cakalele wajib dilestarikan:
1. Simbol Perlawanan dan Identitas Lokal
Di tengah gempuran budaya luar, Tari Cakalele adalah pengingat bahwa kita punya kekayaan sendiri. Ini bukan soal menolak budaya luar, tapi menjaga akar budaya kita agar nggak hilang ditelan zaman.
2. Sarana Edukasi Sejarah yang Hidup
Daripada hanya baca buku sejarah tentang perlawanan masyarakat Maluku, bukankah lebih hidup dan menarik kalau bisa menyaksikan atau bahkan ikut membawakan Tari Cakalele?
3. Potensi Pariwisata Budaya
Kalau dikemas dengan baik, Tari Cakalele bisa jadi daya tarik wisata budaya yang luar biasa. Festival budaya, parade tradisional, hingga pertunjukan interaktif bisa jadi peluang besar.
4. Membangun Rasa Bangga dan Kecintaan pada Budaya Sendiri
Aku pernah lihat anak-anak muda di Ternate latihan Tari Cakalele sambil senyum-senyum dan bercanda. Mereka bangga, dan dari situ aku sadar: budaya itu hidup kalau terus diteruskan oleh generasi muda.
Cakalele dan Pelajaran Hidup yang Tertinggal
Setelah beberapa tahun dari pengalaman pertama menyaksikan Tari Cakalele, aku masih sering teringat pada ekspresi para penarinya. Tegas, kuat, penuh tekad. Tarian itu seakan menamparku: “Hei, kamu harus seberani ini dalam hidup.”
Dari Cakalele, aku belajar bahwa keberanian bukan soal melawan musuh dengan senjata, tapi tentang menjaga apa yang kamu cintai, meski dunia berubah. Tentang tetap berdiri tegak saat badai datang, tentang membela yang benar meski kamu sendirian.
Kalau kamu punya kesempatan, nontonlah Tari Cakalele secara langsung. Rasakan sendiri energinya. Kalau bisa, ikut latihan barang dua sesi. Biar kamu tahu betapa kerasnya perjuangan untuk mempertahankan budaya.
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Tari Rentak Kapuas: Dari Gerakan Halus hingga Filosofi Mendalam Budaya Kapuas disini